PETUNJUK AL QUR’AN TENTANG KOMPETISI
DALAM KEBAIKAN
Allah SWT tidak pernah memerintahkan
manusia untuk saling bermusuhan, saling membunuh, atau saling merusak, baik
terhadap milik sesama muslim maupun milik orang lain yang bukan muslim. Allah
SWT memerintahkan manusia untuk menyembahnya, tidak menyekutukannya dengan
sesuatu dengan berlomba-lomba berbuat baik kepada sesama makhluk khususnya
manusia, tanap membendakan jenis kelamin, agama, suku bangsa, dan golongan.
Menolong atau meringankan penderitaan orang lain adlah salah satu bentuk
perbuatan baik dan termasuk kebajikan.
Surat Al Baqarah Ayat 148 (lihat Al-Qur’an Onlines di
Google)
Artinya: “Dan bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya
(sendiri) yang ia menghadap kepadanya. Maka berlomba-lombalah (dalam membuat)
kebaikan. Di mana saja kamu berada pasti Allah akan mengumpulkan kamu sekalian
(pada hari kiamat). Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS
Al Baqarah : 148)
Isi Kandungan
Setiap umat mempunyai kiblat. Umat
Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail menghadap ke ka’bah, Bani Israil dan orang-orang
Yahudi menghadap ke Baitul Maqdis, dan Allah telah memerintahkan supaya kaum
muslimin menghadap ka’bah dalam shalat. Oleh karena itu, hendaknya kaum
muslimin bersatu, bekerja dengan giat, beramal, bertobat dan berlomba-lomba
dalam berbuat kebajikan dan tidak menjadi fitnah atau cemooh dari orang-orang
yang ingkar sebagai penghambat.. Allah akan menghimpun seluruh manusia untuk
dihitung dan diberi balasan atas segala mala perbuatannya. Allah maha kuasa
atas segala sesuatu dan tidak ada yang dapat melemahkannya untuk mengumpulkan
seluruh manusia pada hari pembalasan.
Berlomba-lomba dalam berbuat
kebaikan berarti menaati dan patuh untuk menjalankan perintah Allah dan
menjauhi larangannya dengan semangat yang tinggi. Allah akan membalas orang
yang beriman, berbuat baik dan suka menolong dengan surga dan berada didalamnya
kekal selama-lamanya
Sumber : http://hbis.wordpress.com/2008/12/16/petunjuk-al-qur%E2%80%99an-tentang-kompetisi-dalam-kebaikan/
Tiap tiap umat ada kiblatnya masing masing yang
dijadikan arah untuk ibadah pada zamanya. Umat Islam menhadapkan wajahnya dalam
beribadah menuju ke arah Masjidil Haram yang di dalamnya ada bangunan Kakbah.
Umat nabi Ibrahim dan Ismail juga menghadap ke arah Kakbah sedangkan umat Bani
Izrail dan umat Nasrani menghadap ke arah Baitul Maqdis. Allah swt memberikan
ketentuan bagi setiap umat manusia dalam beribadah kepadaNya dengan menunjukkan
rah kiblat yang sudah di tentukan. Manusia yang taat dan patuh terhadap apa
yang diperintahkan Allah tentu akan melaksanakan dengan penuh taqwa, sedangkan
orang yang ingkar akan mencari dan membuat arah kiblat sendiri sesuai dengan
keinginanya.
Allah swt akan dapat menilai dan melihat hamba
hambanya yang patuh dan taat, dapat pula melihat hambanya yang melanggar serta
meninggalkan perintahnya. Manusia yang senantiasa berbuat baik dan taat
pastilah Allah akan membalasanya dengan pahala berupa Syurga, Sedangkan manusia
yang lalai dan meninggalkan perintah Allah maka tempatnya adalah di Neraka yang
apinya senantiasa menyala nyala.
Hari kiamat sebagi hari pembalasan akan menjadi
suatu masa bahwa setiap perbuatan manusia akan diminta pertanggungjawabanya.
Perbuatan baik sekecil appun pasti akan mendapat balasanya demikian juga
perbuatan buruk atau jahat sekecil apapun juga akan mendapat balasan yang
sangat adil dan setimpal. Tak ada satupun manusia di hari kiamat yang akan dapat
meloloskan diri dari pengadilan Allah swt. Kehidupan di akhirat hakekatnya
adalah kehidupan hakiki dan merupakan kehidupan yang sebenarnya,oleh karena itu
kehidupan yang sebentar di dunia ini hendaklah benar benar digunakan dengan
sebaik baiknya untuk di isi dengan amal perbuatan yang baik. Kebahagiaan
manusia di akhirat sesungguhnya ditentukan oleh kebahagiaan di dunia ini dengan
satu syarat senantiasa melakukan dan melaksanakan syariat Allah dengan sebaik
baiknya.
Allah swt sudah memberikan gambaran dan peringatan
agar manusia berhati hati dalam hidup ini sebagaimana banyak tertuang dalam
firman Allah yang berisi agar manusia berbuat baik, karena setiap perbuatan
akan kembali kepada manusia itu sendiri. Seperti disebutkan dalam Al quran
surat, Al-baqarah ayat; 25,58,83,195, Al-Maidah : 13, Al-An`am : 84, Al-A`raf :
56, Yunus: 26, dan Surat Yunus : 7
Selain firman Allah tersbut masih banyak surat
dalam Al quran yang memerintahkan untuk berbuat baik. Maka dengan niat penuh
keikhlasan hendaklah kita awali dan perbaharui hidup ini dengan niat untuk
senantiasa melakukan amal amal perbuatan yang baik.
1). Untuk memahami ayat ini
dengan saksama kita harus mengingat kembali bahwa sejak memasuki Juz 2 (ayat
142) pembahasan masih seputar pemindahan kiblat dari Baitul Maqdis di
Yerussalem ke Baitullah di Mekah. Pahaman itu hendaknya menjadi permulaan untuk
mengetahui apakah dibelakang kata كُلٍّ (kulli,
every, tiap-tiap) sebaiknya dipasangi kata “ummat” atau kata “orang”.
Perhatikan di dua terjemahan yang tersedia. Dalam terjemahan Bahasa Indonesia,
disertakan kata “ummat”, sementara penerjemah Bahasa Inggeris-nya menyertakan
kata “one” (orang). Kalau kita mencermati sejak awal, yang keberatan
terhadap pemindahan kiblat ialah orang-orang Yahudi dan Nasrani. Dan keberatan
mereka itu bukan atas nama orang per orang, tapi mewakili emosi kelompoknya
sebagai satu ummat. Yang dikeberatani juga begitu; Nabi tidak mewakili
pribadinya, tapi mewakili ummatnya. Sehingga, kelihatannya, yang paling tepat
menyertai kata كُلٍّ (kulli,
every, tiap-tiap) ialah kata “ummat”. Kesimpulan ini diperkuat oleh
rentetan pembahasan kata “ummat” yang selalu terkait dengan Nabi Ibrahim
beserta nabi-nabi sesudahnya (yang merupakan keturunannya)—lihat kembali ayat:
128, 134, 141, dan 143. Kesimpulan ini juga senafas dengan ayat berikut ini: “Dan
Kami telah menurunkan kepadamu (Muhammad) al-Qur'an dengan membawa kebenaran,
membenarkan Kitab Suci (yang diturunkan) sebelumnya, dan batu ujian terhadap
(isi Kitab Suci) tersebut; maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang
Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan
meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk tiap-tiap umat di
antara kalian, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah
menghendaki, niscaya kalian dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak
mengujimu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat
kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kalian semuanya akan kembali, lalu
diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kalian perselisihkan.” (5:48)2). Analisis berikutnya ialah penentuan rujukan dlamir (kata ganti) هُوَ (ɦuwa, dia) yang ada di frase هُوَ مُوَلِّيهَا (ɦuwa muwallĭɦā). Kalau هُوَ (ɦuwa, dia)-nya kembali ke kata “ummat”, berarti maknanya, tiap-tiap ummat mengorientasikan wajah jiwa seluruh pengikutnya ke kiblat ummat tersebut. Tapi kalau kita kembalikan ke kata “Allah”, berarti Allah akan mengarahkan wajah jiwa setiap orang ke kiblat keummatannya masing-masing, karena logikanya, setiap warga suatu ummat secara otomatis memilih secara sadar dan sukarela kiblat ummat tempatnya bergabung. Tapi tidak berarti bahwa setiap orang Islam, misalnya, sudah pasti kiblat jiwanya kepada Allah, Nabi, dan Ka’bah. Cara pandangnya dibalik: kalau ada orang yang mengaku Islam tapi wajah jiwanya tidak menghadap kepada Allah, Nabi, dan Ka’bah, berarti yang bersangkutan pada hakikatnya bukan bagian dari ummat Islam. "...Mereka pada hari itu (yakni saat kalah di Perang Uhud) lebih dekat kepada kekafiran daripada keimanan. Mereka mengatakan dengan mulutnya apa yang tidak terkandung dalam hatinya. Dan Allah lebih mengetahui apa yang mereka sembunyikan.” (3:167) Diantara yang berpendapa bahwa kata هُوَ (ɦuwa, dia) di sini kembali kepada Allah ialah al-Baghawĭ. Pendapat seperti ini mempertegas bahwa manusia hanya punya kehendak-untuk-memilih, namun semua gerak dan perbuatan—setelah manusia memilihnya—Allah jualah di belakangnya. “Dan janganlah kalian memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan setiap ummat menganggap baik pebuatan mereka. Kemudian kepada Tuhanlah mereka semua akan kembali, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan.” (6:108)
3). Coba resapi ayat yang barusan kita kutip (6:108) kemudian maknai penggalan ayat ini: فَاسْتَبِقُواْ الْخَيْرَاتِ أَيْنَ مَا تَكُونُواْ يَأْتِ بِكُمُ اللّهُ جَمِيعاً [fastabiqul khayrāt ayna mā takŭnŭ ya’ti bikumullahu jamĭ’an, Maka berlomba-lombalah kalian (berbuat) yang terbaik. Di mana saja kalian berada pasti Allah akan mengumpulkanmu semua (pada hari kiamat)], niscaya akan merasakan makna yang hampir sama. Bedanya, di 6:108 nadanya negatif: larangan mencaci-maki tuhan-tuhan yang ummat lain sembah, walaupun tuhan mereka itu hanyalah batu atau pohon. Sementara di ayat ini (2:148) nuansanya positif: (daripada saling memaki maka lebih baik) ber-fastabiqul khairāt (berlomba-lomba melakukan yang terbaik). Toh semuanya kelak akan kembali kepada Tuhan yang sama seraya mempertanggungjawabkan pilihan dan amal-perbuatannya masing-masing. Inilah semangat beragama yang positif. Inilah semangat kemanusiaan sejati. Inilah Islam. Dengan cara seperti ini, kebenaran ditegaskan sifat singgularnya, tapi agama diakui sifat pluralnya. Dan pluralitas agama, setelah mengakui kebenaran agama yang kita anut, tidak perlu melahirkan perbenturan, apalagi peperangan atas nama agama. “Dan (ciri lain mereka yang beriman kepada al-Qur’an ialah) apabila mereka mendengar perkataan yang tidak bermanfaat, mereka berpaling daripadanya dan berkata: ‘Bagi kami amal-amal kami dan bagi kalian amal-amal kalian, salam sejahtera atas kalian, kami tidak bermaksud mencari (masalah) dengan orang-orang jahil’. Sesungguhnya kalian tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kalian kasihi, tetapi Allah (jualah yang) memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk.” (28:55-56)
4). Mengapa Islam mengajarkan sikap tegas dalam memegang kebenaran namun fleksibel dalam menyikapi perbedaan? Karena berangkat dari keyakinan bahwa seandainya Allah mau maka seluruh manusia akan dijadikannya seragam dalam berfikir, seragam dalam memilih, dan seragam dalam perbuatan. إِنَّ اللّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ (innallāɦa ‘ala kulli syay’in qadĭr, Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu)—lihat 5:48 dan 42:8. Tetapi Allah tidak melakukan itu. Allah membiarkan setiap hamba-Nya berfikir dan memilih kemudian berbuat menurut pilihannya masing-masing. Dan kelak di akhirat—berdasarkan otoritas kekuasaan mutlak yang Dia miliki—akan mengumpulkan semuanya lalu mengadili mereka berdasarkan pilihan-pilihan mereka tersebut. Itu sebabnya Allah tidak saja melarang hamba-Nya mengikuti sesuatu yang dia tidak punya pengetahuan tentangnya, tapi juga melarang berbuat sombong atas kebenaran yang dianutnya. “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan dimintai pertanggungjawaban. Dan janganlah kamu berjalan di muka bumi ini dengan sombong, karena sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan dapat menembus bumi dan sekali-kali kamu tidak akan sampai setinggi gunung. Semua itu adalah perbuatan buruk yang amat dibenci di sisi Tuhanmu.” (17:36-38)
5). Abu Sa'id Al Khudri melaporkan bahwa Rasulullah saw bersabda: "Sesuatu yang paling aku khawatirkan menimpa kalian adalah sesuatu yang akan dikeluarkan oleh Allah untuk kalian berupa keindahan dunia." Para sahabat bertanya: "Lantas apakah yang dimaksud dengan perhiasan dunia wahai Rasulullah?" Beliau menjawab: "Yaitu keberkahan dan kemakmuran bumi." Mereka bertanya lagi: "Wahai Rasulullah, apakah kebaikan dapat mendatangkan keburukan?" Beliau menjawab: "Sesungguhnya kebaikan tidak akan mendatangkan kecuali kebaikan dan kebaikan tidak akan mendatangkan kecuali kebaikan, kebaikan tidak akan mendatangkan kecuali kebaikan.... Sesungguhnya harta benda dunia itu kelihatannya hijau dan manis. Barangsiapa yang memperoleh harta dengan jalan halal dan membelanjakannya pada jalan yang benar, maka itulah sebaik-baik pertolongan. Namun barangsiapa yang memperolehnya dengan jalan yang tidak halal, maka ia seperti halnya orang yang makan tapi tidak pernah merasa kenyang." (HR. Muslim no.1743 dan Musnad Ahmad no. 10611)
AMALAN PRAKTIS
Setiap ummat memiliki kiblatnya sendiri-sendiri. Dan Allah membiarkan mereka menjadikan kiblat-kiblat tersebut sebagai pusat orientasi, walaupun Dia tahu bahwa hanya ada satu kiblat yang benar. Maka daripada saling membangga-banggakan kiblat dan saling mencaci-maki satu sama lain, lebih baik ber-fastabiqul khairāt (berlomba-lomba melakukan yang terbaik) menurut keyakinan masing-masing. Agar bumi ini menjadi surga milik bersama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar